Beranda > Badminton
Susi Susanti : Jejak Emas Sang Ratu Bulu Tangkis Indonesia
Penulis : Neli Anggraeni Rohimah - 28 Mei 2025
Beranda > Badminton
Susi Susanti : Jejak Emas Sang Ratu Bulu Tangkis Indonesia
Penulis : Neli Anggraeni Rohimah - 28 Mei 2025
Susi Susanti, Sang Ratu Bulu Tangkis Indonesia (Pinterest)
Magelang – Nama Susi Susanti tak bisa dilepaskan dari sejarah emas olahraga Indonesia. Ia bukan hanya dikenal sebagai atlet bulu tangkis legendaris, tetapi juga sebagai perempuan Indonesia pertama yang mengharumkan nama bangsa lewat medali emas Olimpiade. Lebih dari sekadar prestasi, perjalanan hidup Susi mencerminkan ketekunan, pengorbanan, dan semangat pantang menyerah yang menginspirasi generasi setelahnya.
Awal Karir dan Perjalanan Menuju Puncak
Lucia Francisca Susy Susanti Haditono lahir di Tasikmalaya, 11 Februari 1971 dari pasangan Risad Haditono dan Purwo Banowati. Sejak kecil, Susi akrab dengan raket dan kok berkat bimbingan sang ayah, Risad Haditono, seorang mantan atlet yang gagal mewujudkan mimpinya menjadi juara dunia karena cedera. Semangat sang ayah itulah yang diturunkan kepada Susi, yang kemudian tumbuh menjadi atlet berbakat.
Di usia 10 tahun, Susi bergabung dengan klub Tunas Inti milik pamannya dan menjuarai turnamen tingkat SD se-Priangan. Perjalanan kariernya kemudian menanjak saat ia memutuskan hijrah ke Jakarta pada 1985 dan bergabung dengan klub PB Jaya Raya. Di bawah asuhan Liang Ciu Sia, Susi berhasil menyabet gelar World Championship Junior di usia 14 tahun untuk tiga nomor sekaligus: tunggal putri, ganda putri, dan ganda campuran.
Langkahnya terus melesat. Susi tampil konsisten di berbagai turnamen internasional. Ia menjadi juara All England pada 1990, 1991, 1993, dan 1994. Prestasi gemilang lainnya diraih dengan menjuarai World Badminton Grand Prix Finals lima kali berturut-turut sejak 1990 hingga 1994, serta pada 1996. Pada tahun 1993, Susi juga meraih gelar juara dunia dari Federasi Bulu Tangkis Internasional (IBF).
Olimpiade 1992 : Sejarah Yang tak Terlupakan
Namun, dari semua prestasinya, pencapaian terbesarnya terjadi pada Olimpiade Barcelona 1992. Saat itu, cabang olahraga bulu tangkis pertama kali dipertandingkan secara resmi di Olimpiade. Susi melaju ke final dan menghadapi Bang Soo-hyun dari Korea Selatan. Dalam pertandingan penuh tekanan, Susi menunjukkan mental juara. Ia memenangkan laga dan mengukir sejarah sebagai peraih medali emas pertama untuk Indonesia.
Tangis haru mewarnai kemenangan itu. Lagu Indonesia Raya berkumandang untuk pertama kalinya di Olimpiade, dan Susi berdiri di podium tertinggi dengan bendera Merah Putih di dadanya. Atas prestasi tersebut, ia dianugerahi Tanda Kehormatan Republik Indonesia Bintang Jasa Utama pada tahun yang sama.
Setelah Olimpiade, Susi tetap konsisten di level dunia. Ia meraih medali perunggu di Olimpiade Atlanta 1996 dan memimpin tim Uber Cup Indonesia mengalahkan dominasi Tiongkok pada 1994 dan 1996. Di tengah situasi politik dan ekonomi dalam negeri yang tidak stabil, prestasi Susi menjadi semacam obat penyatu bangsa. Ia bukan sekadar atlet, tetapi simbol harapan.
Perjalanan Susi Setelah Pensiun Menjadi Atlet Bulu Tangkis
Pada 9 Februari 1997, Susi resmi menikah dengan Alan Budikusuma, sesama peraih emas Olimpiade Barcelona. Pasangan ini dijuluki "Pasangan Emas Olimpiade" oleh media. Tak lama setelah menikah, Susi memutuskan pensiun dari dunia bulu tangkis untuk fokus pada keluarga. Keputusan itu ia ambil setelah dinyatakan hamil anak pertama.
Pelepasannya sebagai atlet berlangsung istimewa. PBSI menggelar acara perpisahan di Istora Senayan pada 30 Oktober 1999, bentuk penghormatan yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Pada 2004, Federasi Bulu Tangkis Internasional menganugerahkan penghargaan Badminton Hall of Fame kepada Susi, sebuah penghargaan tertinggi untuk insan bulu tangkis dunia.
Tak berhenti berkarya, Susi dan Alan kemudian membangun bisnis apparel olahraga bernama Astec dan membuka pusat pemulihan atlet, Fontana Sport Massage. Kehidupan barunya tetap bersentuhan dengan dunia olahraga, hanya saja lewat jalur berbeda.
Kisah yang Diabadikan dalam Layar Lebar
Kisah hidup Susi yang penuh perjuangan diangkat ke layar lebar lewat film Susi Susanti: Love All pada 2019. Film ini menyoroti masa kecil Susi, perjuangannya sebagai atlet Tionghoa di tengah dinamika sosial-politik Indonesia, hingga keberhasilannya mengangkat nama Indonesia di Olimpiade. Lewat film ini, menggambarkan bagaimana perjuangan seorang anak daerah menghadapi tekanan, perbedaan identitas, hingga tantangan nasionalisme, yang semuanya dilewati dengan kepala tegak dan hati tulus.
Kini, Susi dan Alan dikaruniai tiga anak: Laurencia Averina, Albertus Edward, dan Sebastianus Frederick. Meski berasal dari keluarga atlet, anak-anak mereka tidak dipaksa mengikuti jejak sang orang tua. Bagi Susi, kebahagiaan dan pilihan hidup anak-anaknya jauh lebih penting dari gelar juara.
Warisan Abadi
Susi Susanti telah pensiun lebih dari dua dekade. Namun, warisannya tak pernah pudar. Setiap kemenangan atlet Indonesia, terutama atlet perempuan, tak lepas dari jejaknya yang dulu membuka jalan. Ia membuktikan bahwa dari kota kecil seperti Tasikmalaya pun, anak bangsa bisa berdiri gagah di panggung dunia.
Dalam dunia yang kerap mengejar hasil instan, kisah Susi adalah pengingat bahwa keberhasilan tak pernah datang tiba-tiba. Ia lahir dari pengorbanan, kerja keras, dan cinta yang tulus untuk negeri. Susi Susanti bukan hanya legenda bulu tangkis—ia adalah wajah keteladanan Indonesia.